Sektor pertanian dalam negeri merupakan area bisnis yang seksi jika kita pintar membaca peluang. Hal ini tak mengherankan, mengingat Indonesia sudah lama menyandang status sebagai salah satu negara agraris dengan lahan terluas. Sayangnya, potensi pertanian yang luas di negara kita tidak dibarengi dengan inovasi dan pengembangan tepat guna yang bisa membantu para petani naik kelas.
Akibatnya tidak main-main, untuk beberapa komoditas lokal, negara kita masih kalah jauh dengan negara lain dan harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Problema inilah yang ditangkap oleh Agus Wibowo, seorang sarjana di bidang Agroteknologi, yang berasal dari desa penghasil komoditas kentang di Magelang, Jawa Tengah. Lewat ilmu pengetahuan yang dimilikinya, ia berhasil menghasilkan inovasi dan program pembibitan kentang yang memajukan penghasilan petani kentang lokal. Nah, bagaimana kisah Agus dan perjalanannya dalam membawa petani naik kelas? Simak cerita lengkapnya berikut ini.
Orangtua Agus sendiri merupakan petani kentang dengan penghasilan tidak sampai 500 ribu rupiah per bulannya. Agus dibesarkan dengan jerih payah di bidang pertanian. Ia tahu seluk-beluk kondisi petani di desanya, secara ekonomi, sosial maupun budaya. Dari sinilah Agus juga tergerak menjadi petani. Tapi, ia bertekad untuk punya kelebihan sendiri : ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi. Pergi berkuliah membuka pikirannya lebih luas.
Saat kemudian lulus kuliah dan kembali ke desa yang terletak di Kecamatan Ngoblok, Magelang tersebut, ia membawa pengetahuan dan segudang mimpi. Agus menempatkan dirinya sebagai seorang Agropreneur, sekaligus seorang petani kentang dari daerah lereng Merbabu. Sejak awal, ia memang ingin menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain. Anak muda di bidang pertanian harus menjadi penggerak dan perubahan melalui inovasi serta teknologi. Berasal dari daerah dataran tinggi, Agus memilih kentang sebagai objek yang dibudidayakannya.
Selain itu, Agus bersama teman-temannya juga membentuk komunitas petani milenial holtikultura. Anggota komunitasnya sendiri terdiri atas para petani berusia muda yang memiliki tujuan sama, yaitu mensejahterakan. Ini adalah wadah bagi para petani untuk bertukar pikiran dan memecahkan masalah bersama-sama. Harapannya, dengan adanya komunitas ini para petani muda yang progresif bisa berbagi ide-ide segar dan pengalaman untuk memajukan petani di Kecamatan Ngablak. “Sudah bukan zamannya kita hanya memerhatikan keberhasilan kita sendiri, melainkan juga kesejahteraan masyarakat di sekitar kita,” ujarnya.
Ia banyak belajar tentang sistem budidaya dan teknologi pertanian yang bisa dikembangkan untuk petani Indonesia. Menariknya, ini juga menjadi beban moral baginya. Saat sukses bergelar sarjana dan pulang ke desanya, banyak yang memandang aneh. “Anggapan mereka, sudah bergelar sarjana, kenapa masih repot-repot jadi petani?” ujar Agus. Namun pandangan ini tidak menurunkan semangatnya. Malahan, tekadnya untuk menunjukkan kepada penduduk desa bagaimana teknologi bisa memajukan industri pertanian menjadi lebh kuat.
Ada beberapa alasan, salah satunya adalah harga kentang yang lumayan tinggi dan lebih stabil dibandingkan komoditas tani lainnya. “Mulai dari budidayanya, penyakit, dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi di industrinya luar biasa, inilah yang membuat saya tertarik,” ujar Agus. Kita bisa membuddiayakan kentang secara maksimal. Sebab, meskipun stabil, bukan berarti bisnis ini tanpa tantangan dan hambatan. Pada praktiknya, Agus justru banyak belajar bahwa faktor alam masih menjadi penentu utama. “Tapi saat kita bisa menganilisis, dan membaca faktor yang bisa mempengaruhi eberhasilan dan kegagalan, kita bisa meminimalisir kerugian,” paparnya. Menurut Agus, semua kesulitan bisa ditemukan solusinya, termasuk di bidang budidaya kentang.
Dalam menjalankan bisnisnya, Agus membentuk beberapa sub-divisi. Yang pertama adalah divisi dengan fokus pada bidang pembibitan kentang. Di Indonesia, produktifitas petani kentang masih sangat rendah. Rata-rata, per hektar hanya 14 sampai 15 ton, padahal di luar negeri sampai berpuluh-puluh ton. Masih rendah karena kebanyakan petani kentang di Indonesia masih menggunakan bibit yang kualitasnya minim dan tidak bersertifikat. Tahun 2018, petani kentang masih 85% tidak menggunakan bibit berkualitas. Hanya sedikit yang memakai bibit unggul. “Kita masih ada potensi sangat besar untuk pembibitan kentang,” ujar Agus. Tinggal bagaimana kita membuka mata mereka untuk kualitas hasil panen yang lebih baik.
Kedua, adalah bidang produksi kentang konsumsi. Di divisi ini, mereka melakukan produksi dan membudidayakan kentang secara luas di lahan untuk kebutuhan konsumsi pasar lokal dan nasional. Ada dua jenis kentang yang mereka produksi, yaitu kentang sayur (untuk sop dan makanan berkuah) serta kentang industri (yang nantinya akan dijadikan keripik kentang atau waralaba restoran). Di bidang ini, mereka memiliki greenhouse alias rumah-rumah kaca untuk pembibitan kentang. Sudah memiliki sertifikat dari dinas setempat.
Divisi ketiga adalah di bidang kemitraan dan pembinaan petani yang ada di sekitar mereka. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas SDM petani dan mempraktekkan sistem agrikultur. Selain melakukan produksi, mereka juga ada sistem edukasi pada petani terkait budidaya yang bagus dari hulu ke hilir. Ada kegiatan pasca panen berupa pengolahan keripik kentang yang nantinya dikemas dan dipasarkan secara lokal.
Untuk pemibibitan dan penanaman, mereka masih menggunakan sistem campuran antara organik dan kimia. “Jadi, jika petani tidak pintar dalam pemberian dosis pestisida, lama- kelamaan tanah dan lingkungan bisa rusak,” jelas Agus. Menurutnya, edukasi soal ini sangat penting untuk menjaga agar industri kentang desanya tetap sustain, alias berkelanjutan. Edukasi ini harus dimulai dari awal, perencanaan, penyusunan RAB, analisis kesehatan tani, budidaya, pengolahan lahan, hingga pasca-panen.
Dalam menjalankan bisnisnya, Agus menerapkan prinsip Triple P, yaitu Profit, People, and Planet. Maksudnya? Dalam berwirausaha, kita tentu harus bicara keuntungan alias profit, tapi tidak mengesampingkan masyarakat yang ada di sekitar. Dengan bisnis ini, Agus ingin meraih cuan sekaligus pemberdayaan masyarakat sekitar. Dari sini, ia memiliki banyak petani binaan dan mitra yang mengikuti edukasi.
Terakhir, soal planet. Saat sudah meraih keuntungan dan berhasil memberdayakan masyarakat, hal yang harus kita perhatikan juga adalah Planet, alias lingkungan sekitar. Bisnis yang berjalan di bidang pertanian diharapkan dapat melestarikan lingkungan untuk anak cucu kita. Ketiga unsur ini harus saling berkesinambungan. Sebab, jika kita mengeksploitasi secara berlebihan, bisnis kita tidak akan berkelanjutan ataupun warisan untuk generasi selanjutnya.
Semua usaha keras Agus membuahkan hasil yang membanggakan. Keuntungan yang dinikmati petani binaan Agus mengalami peningkatan hingga 3200 dollar (hampir 50 juta rupiah), dibandingkan sebelumnya. Petani yang menjadi mitra mengalami peningkatan pendapatan. Petani yang tadinya menanam kobis dan cabai, ketika ikut membudidayakan komoditas kentang, punya peningkatan penghasilan.Hal lain juga berdampak, anak-anak lebih mudah untuk sekolah, kehidupan sosial mereka juga lebih terjamin.
Dengan semua konsep bisnis yang dilakukannya, Agus ingin ada sosial impact yang menyeluruh baik dari kepala keluarga, anak, maupun ibu rumah tangga. Kepala keluarga diajaknya bertani, ibu ikut mengemas keripik, dan anak-anak yang aktif di Karang Taruna desa dilibatkan di bidang marketing hasil olahan kentang. Jadi, semua diberdayakan dan punya penghasilan sendiri. “Impact positif untuk keluarga petani di sekitar kita,” ujarnya.
Sumber : https://ukmindonesia.id/baca-deskripsi-posts/menjemput-petani-kentang-naik-kelas-ala-agus-wibowo